Kisah Seorang ibu Tua Renta yang Tabah

Karya NN
Disadur untuk yang membutuhkan




Kisah seorang ibu tua renta yang tabah.


Suatu ketika si ibu melakukan perjalanan dengan menumpang perahu layar dari
daratan tempat kediamannya menyeberangi lautan menuju suatu daerah dimana
anaknya sedang menuntut ilmu. Ditengah perjalanan, perahu tiba-tiba datang
badai dan ombak yang sangat ganas menghempaskan perahu, sehingga perahu
layar tersebut berjalan tak tentu arah terbawa ombak. Melihat kejadian
tersebut, semua penumpang kecuali ibu ini, berteriak-teriak histeris karena
ketakutan, ada yang mencari pelampung, ada yang saling berpelukan dengan
anggota keluarga dan teman seperjalanan dan ada juga yang sudah meloncat ke
air untuk berusaha berenang mencari pantai dilautan yang tidak kelihatan
tepiannya. Sang nakhoda tetap berusaha mengendalikan perahu layar tersebut
semampunya dengan harapan jangan sampai perahu itu terbalik dan tenggelam.


Dalam keadaan yang sudah kacau balau tersebut, si ibu tetap duduk dengan
tenang sambil sesekali menengadahkan wajah dan tangannya ke atas dengan
bibir komat-kamit. Seorang awak kapal ternyata memperhatikan si ibu tua itu
dan kemudian ia mendekati seraya berkata :" Ibu... apa yang sedang engkau
lakukan, mengapa ibu diam saja dan tidak berusaha untuk menyelamatkan diri
.."? Lalu sang ibu memndang awak kapal itu dengan senyum yang sangat ikhlas
dan tenang, lalu dia berkata :" apakah yang dapat aku lakukan disaat
seperti ini.."? Awak kapal menjawab :" pergilah cari pelampung atau
masuklah ke sekoci bersama dengan penumpang yang lain" Si ibu kembali
bertanya.." apakah dengan kondisiku yang sedemikian ini akan mampu berebut
pelampung atau mampu bertahan untuk saling mendorong di dalam sekoci yang
sekecil itu..? apakah kapal ini tidak lebih besar dari sekoci itu untuk
tempat berteduk dan berlindung.."? lalu sang awak kapal menjawab :" ibu,
kapal ini akan tenggelam karena sudah terlalu banyak air laut yang masuk"
Kemudian si ibu menjawab :" aku sangat berbahagia untuk tetap tinggal di
kapal ini, karena sekoci dan pelampung itu tidak akan pernah sampai ke
daratan yang akan kita tuju, karena mereka tidak akan kuasa menentukan
arahnya, sementara Jikalau Tuhan mengijinkan kapal ini bertahan, maka akan
sampailah kita ke daratan tujuan kita dan aku akan bertemu dengan anakku
yang kucintai yang sedang menungguku disana". Si awak kapal bingung dan
kembali bertanya :" bagaimana sekiranya kita tidak mampu untuk meneruskan
perjalanan dan kita putar haluan untuk kembali..?" si ibu menjawab :" aku
juga akan berbahagia, karena aku akan kembali berkumpul dengan suami ku
yang sedang menunggu ku di rumah.." Lalu si awak kapal kembali bertanya:"
Bagaimana kalau kapal ini tenggelam dan kita akan mati ditelan ombak
badai..?" si ibu kembali menjawab dengan tenang dan senyum :" aku juga
akan tetap berbahagia, karena aku akan bertemu dengan anakku yang telah
lama pergi menghadap Sang Penciptanya". Seketika itu sang awak kapal baru
tersadar.., ternyata ketabahan ibu ini sungguh luar biasa, lalu dengan
tangan yang lembut ia menuntun ibu tua itu untuk masuk menuju ruang awak
kapal serta berkata " Terimakasih Ibu, engkau telah memberiku pelajaran
yang sangat berharga, bahwa hidup harus dihadapi dengan ketenangan jiwa dan
terutama penyerahan diri kepada Tuhan Sang Pencipta"


Salam.
TITOK ADHINOTO-KANIBAL
TETAP SEMANGAT


Sumber



Kisah Orang Kaya Baru di Jimbaran, Bali, yang Kembali Miskin


Kisah Orang Kaya Baru di Jimbaran, Bali, yang Kembali Miskin
Setiap Hari Judi, Gemar Main Perempuan, lalu Bangkrut


Di Bali, proses jual beli tanah untuk pendirian hotel-hotel berbintang menyisakan kisah menarik. Jual beli tanah yang terjadi puluhan tahun lalu itu melahirkan sejumlah OKB (orang kaya baru). Tapi, mereka yang dulu kaya raya itu kini kembali miskin.

YOYO RAHARYO, Badung

UMUR Wayan Balut tak lagi muda: 67 tahun. Tapi, dia masih tampak energik. Sehari-hari warga Lingkungan Teba, Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, itu bekerja serabutan.
   
Dia tinggal bersama dua istri di rumahnya yang sangat sederhana. "Untung, anak-anak saya sudah bekerja semua. Mereka sudah punya kehidupan sendiri-sendiri," kata bapak enam anak itu.

Kedua mata Balut menerawang ketika ditanya tentang perjalanan hidupnya puluhan tahun lalu. Balut adalah salah seorang OKB (orang kaya baru) karena tanahnya dibeli investor yang membangun hotel di Desa Jimbaran.
   
"Saya dulu petani garam. Sekitar 1978 tanah saya dibeli untuk hotel dan pembangunan kampus Universitas Udayana. Lokasi tanah saya ada di Bukit Jimbaran," ceritanya. Balut mengaku, luas tanah yang dijual pada saat itu berhektare-hektare.
   
Balut mengatakan, saat itu harga tanah per are sekitar Rp 100 ribu (1 are = 100 meter persegi). Dari hasil menjual tanahnya, Balut menerima uang puluhan juta rupiah. Kala itu cukup populer istilah pis jamrud. Yakni, uang yang datang dari hasil menjual tanah. "Uang segitu pada 1978 termasuk besar," ujarnya.

Oleh Balut, uang tersebut dipakai untuk berbagai macam. Di antaranya biaya upacara keagamaan seperti ngaben, memperbaiki sanggah (tempat untuk memuja nenek moyang, Red), berbisnis, hingga berfoya-foya meski sedikit.

"Sedikit saya pakai foya-foya. Karena judi kurang bisa. Main perempuan sedikit," katanya berterus terang, seraya minta agar wajahnya tak diabadikan.

itu Balut tak lagi menjadi petani garam. Dia membeli satu unit truk dan mencoba berbisnis kapur gamping yang saat itu biasa digunakan sebagai pengganti semen. Bahkan, dia memiliki beberapa buruh.

"Saya mencoba bisnis, tapi pengelolaannya kurang profesional. Akhirnya usaha saya bangkrut," terang Balut.  Kini cerita pernah kaya Balut itu tinggal kenangan.
   
Bekas OKB lain yang dihubungi Radar Bali (JPNN Group) adalah Made Wardi. Sehari-hari pria 50 tahun itu adalah tukang sapu di desanya yang digaji Pemkab Badung sebagai tenaga harian lepas.

"Ya, seperti inilah kehidupan saya sekarang," kata Wardi di rumahnya di Jalan Ulunsiwi, Banjar Teba, Desa Jimbaran, Selasa lalu (9/8). Sebelum menjadi tukang sapu, berbagai pekerjaan kasar pernah dia lakoni. "Jadi, nelayan pernah, buruh proyek juga pernah," katanya.

Kehidupan Wardi sekarang sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan puluhan tahun lalu ketika menjadi OKB. Saat itu dia kecipratan berkah dari penjualan tanah milik ayahnya, almarhum Made Sempeng.

Itu terjadi pada 1974-1976, ketika investor gencar berburu tanah di Jimbaran. "Ayah saya punya banyak tanah," katanya. Wardi mengaku mendapat bagian uang hasil penjualan tanah ayahnya hingga puluhan juta rupiah. "Tapi, karena nggak bisa mengatur, uang itu habis," kenangnya.

Jika kekayaan Balut dan Wardi saat ini hilang tak berbekas, lahan yang dulu menjadi miliknya sampai sekarang masih ada. Tapi, di atasnya sudah berdiri hotel-hotel berbintang lima. Sebut saja Hotel Intercontinental dan Four Seasons.

Menurut Made Dharma, tokoh masyarakat Jimbaran, proses jual beli tanah dalam skala besar yang paling awal terjadi di Jimbaran adalah pada 1974. Ketika itu investor membeli lahan untuk pembangunan Hotel Intercontinental. "Mulai saat itu banyak OKB karena menjual tanah," cerita Dharma.

Kala itu harga lahan dengan luas satu hektare mencapai Rp 10 juta hingga Rp 25 juta. "Uang segitu sangat banyak. Pada waktu itu, harga mobil antara Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta. Sepeda motor malah hanya Rp 250 ribu sampai Rp 400 ribu," cerita Dharma.

Sayangnya, uang berlimpah yang didapat warga tak dimanfaatkan secara semestinya. "Banyak OKB yang akhirnya kembali jatuh miskin karena gagal mengelola uangnya," ujar Dharma. Intercontinental, jimbaranIntercontinental, jimbaran

"Pemilik itu sekarang tinggal nama. Bekas milik dia, tanah itu sudah pindah tangan ke investor berkantong tebal," imbuhnya.
   
Dharma menuturkan, banyak uang hasil menjual tanah itu dipakai untuk hal-hal konsumtif. Di antaranya membeli sepeda motor, mobil, dan televisi. Parahnya lagi, banyak pula yang menghambur-hamburkan uangnya untuk minum-minuman keras hingga berjudi.

Walau sebagian, ada pula yang tersedot untuk membangun rumah dan sanggah keluarga. "Kalau membangun rumah dan sanggah keluarga, itu masih bisa ditoleransi," jelasnya.

IGKG Yusa Arsana Putra, tokoh masyarakat lain di Jimbaran, menambahkan, selain dipakai untuk judi, banyak juga yang menggunakan uangnya untuk bermain perempuan.

Dalam sehari, kata Yusa, duit yang dihabiskan di meja judi bisa sampai Rp 1 juta. Padahal, harga tanah per are saat itu antara Rp 100 ribu sampai Rp 250 ribu. "Mereka bisa berjudi setiap hari," kata pria 44 tahun itu.

Menurut Yusa, setelah mendapat banyak uang dari berjualan tanah, banyak yang suka "jajan?. Bahkan, jajannya bukan sekali, namun berkali-kali. Yang lebih gila, layaknya bos, ada yang memelihara perempuan untuk dikoskan. Saat itu sudah muncul sarang pelacuran, seperti kompleks Sanur, Pesanggaran, hingga Lumintang. Tak jarang pula ada yang diporoti perempuannya. Ada juga yang sampai tercantol hingga kabur dari rumah.

Di Kelurahan Tanjung Benoa bahkan ada yang ikut perempuannya ke Jawa. Setelah sekian lama tidak pulang, tiba-tiba muncul kabar bahwa di rumah sakit dalam kondisi sudah meninggal dunia. "Mereka sampai lupa segalanya. Sampai mengorbankan jiwanya untuk kesenangan," jelasnya. "Semoga ini hanya terjadi di Jimbaran," katanya. (jpnn/yes/c2/kum)

Membiasakan Bersedekah


Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi

Oleh Abi Sabila
Hasan, bocah lima tahun yang baru duduk di kelas TK, merasa heran dengan kebiasaan Bundanya, mengumpulkan uang pecahan seribu, lima ribu dan sepuluh ribuan. Uang-uang itu disimpan di sela-sela buku, di halaman yang terpisah. Tidak seperti kebiasaan Bunda menyimpan uang, buku tersebut sepertinya sengaja Bunda simpan di tempat yang mudah untuk mengambilnya sewatku-waktu. Karena penasaran, Hasan pun bertanya.
“Bunda, untuk apa uang-uang itu? Kok, dipisah-pisah?”
“Ini untuk bekal kita di akhirat, sayang!” jawab Bunda sambil sekali lagi memastikan jumlah uang di tangannya. Tiga puluh satu lembar pecahan seribu, empat lembar pecahan lima ribu dan dua lembar pecahan sepuluh ribu. Pas. Bunda terlihat lega.
“Bekal di Akhirat? Memangnya kapan kita ke Akhirat, Bunda?”
Belum sempat Bunda menjawab, dengan polos Hasan kembali bertanya.
“Akhirat itu di dekat Mekkah ya, Bunda?”
Mendengar pertanyaan sang buah hati, Bunda tersenyum. Anaknya memang kritis, sekaligus menggemaskan. Bunda meraih putra tunggalnya, mendudukan di pangkuannya dan mencium kepalanya dengan penuh kasih sayang. Harum wangi shampoo balita tercium dari rambut sang bocah yang masih agak basah.
“Sayang…Akhirat itu bukan dekat Mekkah. Akhirat itu tidak di dunia ini. Alam Akhirat itu akan kita jumpai setelah kita mati.” Bunda mencoba memberi penjelasan yang bisa dipahami oleh bocah lima tahun itu.
“Kata Pak Ustadz, orang mati nda mbawa bekal apa-apa selain amal, Bunda! Untuk apa Bunda nyiapin uang-uang ini?” Hasan memprotes, menuntut penjelasan yang lebih bisa ia pahami.
“Betul sayang. Yang dibawa orang meninggal hanyalah amal. Seluruh harta, keluarga dan juga jabatan ia tinggalkan. Dan uang-uang ini tidak akan kita bawa kecuali setelah kita sedekahkan. Pahala dari sedekah inilah yang akan kita jadikan bekal nantinya.”
Hasan terlihat antusias mendengarkan penjelasan Bunda. Perlahan ia turun dari pangkuan Bundanya. Ia duduk tepat di sebelah Bunda, menunggu penjelasan berikutnya.
“Sebenarnya ini ide Ayah, sayang. Berawal dari membaca sebuah tulisan, Ayah kemudian mengajak Bunda untuk mempraktekan, menyisihkan sebagian dari rezeki yang Ayah dapatkan untuk diberikan kepada mereka yang hidupnya kurang beruntung.”
“Jadi Bunda memisah-misahkan uang ini untuk disedekahkan?” Hasan mulai paham. Kedua matanya terlihat berbinar-binar.
“Betul! Sebelum Bunda membagi-bagi uang yang Ayah berikan, Ayah selalu mengingatkan agar selain memisahkan anggaran untuk kita makan, bayar sekolah, bayar listrik, beli pulsa, dan lain-lain, termasuk juga uang jajan kamu, Bunda juga harus menyiapkan anggaran untuk kita sedekahkan. Mengikuti contoh yang diberikan dalam tulisan itu, Ayah dan Bunda sepakat untuk memisahkan uang-uang ini untuk sedekah harian, mingguan dan bulanan. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi setidaknya Ayah dan Bunda belajar untuk membiasakan bersedekah, setiap hari.”
“Aku nda pernah lihat ada orang minta-minta datang ke rumah kita, Bunda?”
“Ya, mungkin saja. Kamu sekarang kan sudah sekolah, jadi tidak tahu kalau ada peminta datang ke sini. Atau, kalaupun kamu di rumah, mungkin mereka datang saat kamu sedang tidur. Tapi yang jelas, Ayah dan Bunda berusaha untuk membiasakan bersedekah. Bisa kepada pengemis yang datang ke rumah, pengamen ataupun anak jalanan yang Bunda temui di jalan saat akan dan dari pasar atau mengantar jemput kamu ke sekolah.”
“Uang ini diberikan kepada mereka semua, Bunda?”
“Ya, tapi tidak sekaligus. Kan tadi Bunda sudah bilang, ada anggaran untuk sedekah harian, biasanya Bunda berikan kepada orang yang pertama kali datang atau Bunda temui di jalan. Kemudian sedekah mingguan, ini kalau kita sedang mengikuti pengajian setiap Minggu pagi. Biasanya Bunda atau Ayah akan memberi sedekah kepada lebih dari satu orang. Kamu ingat kan, banyak orang yang tidak memiliki penghasilan tetap yang memanfaatkan pengajian untuk mencari penghasilan. Tapi kita tidak perlu mempermasalahkan, bagaimanapun itu ladang amal buat kita. Dan yang terakhir, anggaran sedekah bulanan biasanya Ayah atau Bunda serahkan kepada majelis taklim atau mushola, tergantung kira-kira mana yang lebih membutuhkan. Atau kadang juga Ayah dan Bunda membaginya sama, untuk majelis taklim dan juga mushola” panjang lebar Bunda menjelaskan. Dari matanya yang berbinar, Bunda yakin buah hatinya bisa menerima penjelasannya.
“Kalau misal dalam sehari ada dua pengemis datang, bagaimana Bunda?” bocah kecil nan mengemaskan itu kembali bertanya, tanpa Bunda duga sebelumnya.
“Kalau ada, Bunda kasih dua-duanya. Terkadang dalam sehari tidak ada pengemis yang datang. Juga Bunda tidak pergi ke pasar sementara kamu berangkat sekolah ikut Ayah, jadi uang hari ini dikumpulkan untuk hari berikutnya. Ketika ada dua orang atau lebih yang Bunda temui, uang itu Bunda berikan. Tapi kalau Bunda sedang tidak ada uang receh, sementara ada peminta yang datang lagi, Bunda akan bilang baik-baik, minta maaf. Tapi setidaknya untuk hari itu kita sudah bersedekah. Selagi belum bisa menambah jumlah yang akan disedekahkan, minimal kita berusaha untuk istiqomah bersedekah.”
“Kata Pak Ustadz, kalau kita rajin bersedekah rejeki kita akan bertambah ya, Bunda?”
“Ya, betul! Bertambah jumlahnya, terutama juga barokahnya. Amin, insya Allah!”
“Kapan-kapan, aku saja yang ngasih sedekahnya ya, Bunda?” pinta Hasan. Kedua matanya berbinar, terlihat bersemangat.
“Insya Allah!” jawab Bunda sambil kembali memeluk dan mencium buah hatinya dengan penuh kasih sayang.

Sumber


Renungan Bagi Yang Sibuk Berkarir

Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Anak merupakan titipan ilahi dan sekaligus amanah dari Sang Maha Pencipta, tetapi karena kesibukan kita mencari nafkah untuk keluarga sehari-hari sampai-sampai kita tidak dapat menyediakan sedikit waktu untuk sekedar memperhatikan hak seorang anak untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang dari seorang ayah atau ibunya. Mungkin dari kisah nyata berikut ini dapat kita ambil hikmah yang dapat kita ambil dan sebagai cermin bagi kita semua.

Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur ?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"

"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Imron singkat.

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar
sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Rudi
Tetapi Imron tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".

"Tapi Papa......."

Kesabaran Rudi pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Imron. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp. 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Rudi.

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"Iya, iya, tapi buat apa ?" tanya Rudi lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja... Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp. 15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp. 5.000,- makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Imron polos.

Rudi pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.


with Love & Peace
Zulys Rara - KOMPASIANA


Sumber

Mendidik Tanpa Kekerasan

Cerita Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Seringkali orangtua menanyakan ke saya “Anak saya ini kalau diomongin susah nurutnya, bagaimana sih caranya agar anak nurut dengan orangtua? Apa musti dipukul dulu baru nurut?”. Mendengar pertanyaan ini, seringkali saya jawab dengan singkat “Kenapa musti harus dengan kekerasan?”. Dan seringkali saya menceritakan kisah di bawah ini agar mereka mengerti apa maksudnya Mendidik Anak Tanpa Kekerasan.
Pada suatu hari Dr. Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi, memberi ceramah di Universitas Puerto Rico. Ia menceritakan suatu kisah dalam hidupnya:
Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orangtua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, ditengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan pergi ke kota untuk mengunjungi teman atau menonton bioskop.
Pada suatu saat, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota untuk menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Tahu bahwa saya akan pergi ke kota, ibu memberikan daftar belanjaan yang ia perlukan. Selain itu, ayah juga meminta saya mengerjakan beberapa pekerjaan tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.
Pagi itu setiba di tempat konferensi, ayah berkata ”Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama.”
Segera saja saya menyelesaikan pekerja-pekerjaan yang diberikan oleh ayah dan ibu. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan dua permainan John Wayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam menunjuk pukul 17.30, langsung saya berlari menuju bengkel mobil dan buru-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18.00!!!
Dengan gelisah ayah menanyai saya ”Kenapa kau terlambat?”. Saya sangat malu untuk mengakui bahwa saya menonton bioskop sehingga saya menjawab, ”Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu.”
Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, ”Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan engkau sehingga engkau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarkanlah ayah pulang berjalan kaki sepanjang 18 mil dan memikirkannya baik-baik.”
Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah. Padahal hari sudah gelap dan jalanan sama sekali tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami beliau hanya karena kebohongan bodoh yang saya lakukan.
Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi. Seringkali saya berpikir mengenai kejadian ini dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya, sebagaimana kita menghukum anak-anak kita, maka apakah saya akan mendapat sebuah pelajaran mengenai mendidik tanpa kekerasan ? Kemungkinan saya akan menderita atas hukuman itu, menyadarinya sedikit dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa, sehingga saya merasa kejadian itu baru terasa kemarin. Itulah kekuatan bertindak tanpa kekerasan.