KETIKA TUHAN BILANG "TIDAK"

Kumpulan Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan ambillah kesombonganku dariku."

Tuhan berkata, "Tidak. Bukan Aku yang mengambil, tapi kau yang harus menyerahkannya."

Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat."
Tuhan berkata, "Tidak. Jiwanya telah sempurna, tubuhnya hanyalah sementara."


Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan beri aku kesabaran."
Tuhan berkata, "Tidak. Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan, tidak diberikan, kau harus meraihnya sendiri."

Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan beri aku kebahagiaan."
Tuhan berkata, "Tidak. Kuberi keberkahan, kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan itu."

Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan jauhkan aku dari kesusahan."
Tuhan berkata, "Tidak. Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada-Ku."

Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan beri aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat." 
Tuhan berkata, "Tidak. Aku beri kau kehidupan supaya kau menikmati segala hal."

Ketika manusia berdo'a, "Ya Tuhan bantu aku MENCINTAI orang lain,
Sebesar cinta-Mu padaku. Tuhan berkata... "Akhirnya kau mengerti .!!"

Kadang kala kita berpikir bahwa Tuhan tidak adil, kita telah susah payah memanjatkan doa, meminta dan berusaha, pagi-siang-malam, tapi tak ada hasilnya.
Kita mengharapkan diberi pekerjaan, puluhan-bahkan ratusan lamaran telah kita kirimkan tak ada jawaban sama sekali, sementara orang lain dengan mudahnya mendapatkan pekerjaan.
Kita sudah bekerja keras dalam pekerjaan mengharapkan jabatan, tapi justru orang lain yang mendapatkannya-tanpa susah payah.
Kita mengharapkan diberi pasangan hidup yang baik dan sesuai, berakhir
dengan penolakkan dan kegagalan, orang lain dengan mudah bergante pasangan.



Kita menginginkan harta yang berkecukupan, namun kebutuhanlah yang terus meningkat.
Coba kita bayangkan diri kita seperti anak kecil yang sedang demam dan pilek lalu kita melihat tukang es.
Kita yang sedang panas badannya merasa haus dan merasa dengan minum es dapat mengobati rasa demam(maklum anak kecil). Lalu kita meminta pada orang tua kita (seperti kita berdoa memohon pada Allah) dan merengek agar dibelikan es. Orangtua kita tentu lebih tahu kalau es dapat memperparah penyakit kita. Tentu dengan segala dalih kita tidak dibelikan es. Orangtua kita tentu ingin kita sembuh dulu
baru boleh minum es yang lezat itu. Begitu pula dengan Tuhan, segala yang kita minta Tuhan tahu apa yang paling baik bagi kita.
Mungkin tidak sekarang, atau tidak di dunia ini Tuhan mengabulkannya.
Karena tuhan tahu yang terbaik yang kita tidak tahu.
Kita sembuhkan dulu diri kita sendiri dari "pilek" dan "demam".... dan terus berdoa.

source : kumpulan-inspirasi.blogspot.com

KISAH NYATA MBAH RINJING

Kumpulan Cerita Inspiratif Dan Motivasi
Oleh: Sunaryo Adhiatmoko
Ijinkan saya mengenang sejenak, pergulatan sepasang suami istri. Misno dan Sikem. Keduanya punya enam anak. Tinggal di selatan Jawa Timur, di sebuah desa pegunungan yang masih mengkonsumsi nasitiwul (nasi dari tepung singkong yang dikukus) sebagai makanan pokok. Secara ekonomi, Misno dan Sikem, keluarga yang jauh dari cukup. Rumahnya masih dari bilik bambu, tanahnya juga hanya melingkupi pekarangan rumah saja.

Kurun 20 tahun, Misno dan Sikem menjejakkan telapak kakinya tanpa alas, di atas jalan berbatu dan aspal yang panas, saat matahari membakar. Berduaan, mereka menjajakan Rinjing (kerajinan dari bambu) yang dipikul dan digendong menuju pasar sejauh 30 km, dari rumahnya. Berangkat pukul tiga pagi dan akan sampai di pasar, pukul sebelas malam. Di sepanjang jalan, Rinjing itu dijual di perkampungan yang dilewati. Sampai di pasar, jika nasib baik, biasanya tinggal seperempat yang akan dijual pada esok pagi, pas hari pasaran.

Rinjing-rinjing itu, bukan buatan Misno dan Sikem. Tapi, produksi para keluarga miskin di desa itu. Suami istri ini, hanya perantara menjualkan saja ke pasar di kota. Jika pakai rumus ekonomi, hitungannya rugi, karena antara peluh yang bercucur dan tenaga yang dikuras tak sebanding. Rata-rata untung yang didapat Misno dan Sikem, tak lebih dari Rp 20 ribu. Hasilnya buat membeli gaplek(singkong kering bahan tiwul) untuk makan anak-anaknya.“Tidak usah berhitung kalau mau membantu orang. Gusti Allah mboten sare (Allah tidak tidur)”, wasiatnya dalam.

Jika Misno dan Sikem tidak menjual Rinjing itu, maka tetangganya juga tak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Pernah suatu hari, keduanya sakit. Rinjing yang diproduksi warga numpuk tak terjual. Sampai ada seorang tetangga datang ke rumahnya, untuk minjam gaplek. Padahal Misno dan Sikem, juga bernasib sama.

“Sudah ambil saja, kasihan anak-anakmu kalau tidak makan”, kata Sikem, padahal anak-anak dia sendiri, juga terancam kelaparan.
Lha sampeyan gimana nanti”, jawab peminjam itu agak segan.
“Tidak usah dipikiri, biar Gusti Allah yang mikirin saya”, tandas Sikem bernas.
Esok hari setelah sehat, Misno dan Sikem kembali memikul dan menggendong Rinjing, titipan tetangganya. Di sepanjang jalan yang dilalui dalam 20 tahun, keduanya dapat sebutan Mbah Rinjing.Dari keuntungannya yang sedikit itu, Misno dan Sikem punya kebiasaan rutin, tiap pulang dari pasar. Sikem akan singgah di warung soto ayam. Ia membeli tulang belulang yang dagingnya sudah diambil buat soto. Sikem akan berpindah dari warung soto satu, ke warung soto lainnya, agar tak malu, karena membeli tulang-tulang yang harganya murah. Tulang yang menyisakan sedikit daging itu, dibawa pulang untuk oleh-oleh. Maka, tiap pulang dari pasar, para tetangga kumpul di rumahnya. Mereka dapat jatah potongan tulang ayam yang kala itu, cukup istimewa di desanya. Tapi, untuk keluarga yang paling miskin, Misno dan Sikem akan memberikan tambahan ikan asin.Jualan dengan berjalan kaki, juga pilihan Misno dan Sikem. Jika ke pasar naik angkutan, maka hasilnya tekor. Untung yang diambil juga sedikit, agar Rinjing cepat laku dan keluarga pengrajin bisa menafkahi keluarganya.

Sayang, kebersamaan suami istri itu, harus terpisah, saat Misno memenuhi panggilan Allah lebih dulu. Sikem, hatinya sempat remuk, karena harus menghidupi enam anak dan kebutuhan hidup para pengrajin Rinjing. Tak ada orang cukup mental, untuk jualan dengan berjalan kaki, puluhan kilo meter setangguh Misno.

Sebelum wafat, Misno berpesan pada istrinya, “Kalau kamu kuat teruskan jualan Rinjing, kasihan mereka. Kalau tidak kuat ya istirahatlah”.
Setelah berkabung, Sikem kembali bangkit. Ia gendong tumpukan Rinjing, hingga menggunung. Sikem menapak batu terjal dan aspal mendidih, sendirian. Sepanjang jalan dilalui, ia punya kekuatan, seakan Misno ada di sampingnya. Tapi, Sikem makin tua. Kekuatan tulangnya tak sekokoh dulu.Selama 10 tahun, setelah Misno meninggal, Sikem melanjutkan jualan Rinjing sendirian. Ia berusaha kuat, tak hanya utk kelangsungan hidupnya, tapi juga bagi para pengrajin Rinjing. Ia juga masih beli tulang bekas soto ayam dan ikan asin, untuk dibagi ke tetangganya. Hatinya juga lembut dan selalu berbagi, meski ia sendiri kekurangan.

Pada 2006, Sikem menyusul suami tercinta. Amanah suaminya telah ia tepati. Para pengrajin Rinjing sangat kehilangan. Kini, nyaris tak ada lagi yang membuat Rinjing di desa itu, karena tak ada yang menjualkan.

Sebuah pesan pendek, selalu dinasehatkan Misno dan Sikem pada anak-anaknya. Hidup jangan pelit, selalu menolong yang lemah dan membantu yang menderita. Terima kasih, atas nasehat kehidupanmu Mbah Rinjing.